Sudah menjadi kebiasaan keluaraga saya, tiap kali Misa di Gereja Katedral, dekat rumah saya (hanya 3 menit), kami sekeluarga duduk di sayap kanan. Apa pun yang terjadi, terutama Bapak, selalu memilih duduk di sayap kanan itu.
Nggak tau kenapa, orang-orang suka malas ke tempat itu. Apalagi di deretan depan. Mereka lebih memilih di tengah atau di sayap kiri.
So, saya, Ibu dan Bapak pasti dengan PD-nya akan duduk di sana.
Kalau nggak dapet di deretan depan itu, pokoknya pasti di daerah sayap kanan itu saja.
Selalu.
Nggak aneh, karena hal itu keluarga saya dikenal sebagai keluarga yang setia duduk di depan, sayap kanan.
(kayak pemain sepak bola aja ya...)
Hal lain yg nggak akan saya lupa adalah kalau saya sedang malas bernyanyi maka Ibu saya akan menyodorkan Madah Bakti (buku doa dan nyanyian saat itu) supaya saya mau ikut bernyanyi.
Kalo masih bandel juga, Ibu akan menunjuk-nunjuk lagu atau doa yg sedang dinyanyikan atau didoakan. Ya terpaksa deh... Mau nggak mau bersuara juga.
Rutinitas lain yg sangat saya suka ketika akan ke gereja bareng Ibu dan Bapak ini adalah saya bisa sok sibuk memilih baju yang pantas dan layak dipakai untuk ke gereja.
Ibu memang sudah membiasakan saya untuk membedakan mana baju untuk bermain, ke gereja, santai atau pergi ke acara resmi lainnya.
Kadang-kadang saya suka bingung memilih. Bukan karena kebanyakan. Tapi, saya suka merasa pakaian saya biasa saja. Nggak seperti anak-anak lain yang seusia saya waktu itu.
Bapak yang seorang guru memang membiasakan saya untuk hidup sederhana. Nggak neko-neko atau berkeinginan lebih.
Tapi, kalau Natal atau kepentingan tertentu, Bapak juga nggak pelit buat membelikan saya baju baru.
Cuman..., yah namanya juga anak ABG di jmn itu, jd ada rasa iri juga ngeliat teman-temannya punya variasi baju yang lebih.
Pulang dari gereja, saya biasanya punya "kewajiban" ikin mie rebus instan untuk bertiga.
Ini juga sesuatu yg kalau dipikir-pikir aneh juga.
Bapak nggak mau kalau kewajiban saya ini dilanggar. Bisa ngambek dia.
Pokoknya setelah dari gereja, makanan ini memang wajib ada di meja makan kami.
Malah kadang-kadang kalo ada tamu yg kebetulan datang, Bapak sering promosiin mie rebus ini buatanku.
Padahal mah sama saja... Sesuai aturan masak mie instan aja.
Kalau pas malam perayaan (Natal atau Paskah), soal duduk di sayap kanan ini tetap nggak bisa diganggu gugat.
Demi hal ini, kalau biasanya 3 menit saja sudah sampai di Gereja, kali ini kami harus bela-belain 15-20 menit sudah siap di Gereja. Maklumlah, pas hari-hari itu Gereja pasti penuh dengan umat "Napas dan Kristal" alias "Natal Paskah atau Kristen Natal".
Meski kadang kami harus terpisah, tapi saya tetap merasakan kehangatan atas peristiwa yang kini justru membawa angan saya bermain-main lagi ke masa lalu itu.
Tahun 1993, Bapak meninggal dunia karena sakit.
Itu berarti bangku di sayap kanan Gereja kami kosong satu.
Ada perasaan mengiris ketika saat-saat pertama saya sadari ada yang hilang dari rutinitas ke Gereja saya dan Ibu.
Tapi, nyatanya kebiasan duduk di tempat yang sama itu juga mengobati kehilangan kami atas kepergian Bapak.
Demikian juga ketika 10 tahun kemudian, Ibu menyusul Bapak ke tempat Bapa mereka nan kekal.
Tinggal saya yang tiap kali pulang dan berniat Misa di Gereja yang sama, tetap mencoba melakukan ritual yang sama.
Meski kali ini kadang saya nggak bisa membenam keharuan yang tiba-tiba saja menyeruak.
Sekarang... menjelang malam Natal begini, kenangan itu kembali menari-nari di depan mata.
Kesedihan, kerinduan, keharuan plus kebahagiaan boleh bisa pernah merasakan hal itu menerjang saya.
Ingin rasanya kembali bermalam Natal bersama Ibu dan Bapak lalu pulang dari Gereja menyalakan lampu di pohon Natal dan makan malam bersama.
Kalau saja semua boleh berputar kembali, pasti Natal ini akan lebih indah terasa.
Tapi...
Saya juga nggak mau terpekur pada masa lalu.
Ibu dan Bapak saya pun pasti telah berbahagia di sana, menduduki bangku damai abadi yang dijanjikan sendiri olehNya.
Natal mereka pasti lebih luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar